Klinik Hati

Screenshot 2023-03-27 124950

Author name: admin

Mitra

pabrik plastik injection indonesia pabrik plastik injeksi jasa cetak moulding plastik jasa cetak plastik injeksi jasa injection plastik jasa injeksi plastik mesin injeksi plastik moulding mesin plastik injeksi mesin plastik injeksi rumahan pabrik moulding plastik injeksi plastic injection indonesia jasa pembuatan moulding

Cara Penanganan HEPATITIS B, Yang Wajib Kamu Ketahui

Jika Anda Didiagnosa Menderita Hepatitis B, Jangan Langsung Stres Hepatitis B dapat diobati dan Anda harus segera melakukan konsultasi ke dokter agar kondisi yang terjadi tidak semakin parah. Hepatitis B dibedakan menjadi Hepatitis B akut dan Hepatitis B kronik. Kedua kondisi tersebut memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tidak bergejala hingga dapat menimbulkan gejala berat seperti penurunan kesadaran (ensefalopati). Penegakan diagnosis Hepatitis B dilakukan berdasarkan adanya HBsAg atau hepatitis B surface antigent di dalam darah. HBsAg merupakan bagian luar (amplop) dari virus hepatitis B. Adanya HBsAg di dalam darah sebaiknya harus di ikuti pemeriksaan HBeAg (hepatitis B envelope antigent) untuk menilai kecepatan perkembangan Virus dan Anti-HBe. Kedua hal tersebut merupakan respons pertama tubuh terhadap infeksi Virus Hepatitis B (HBV). Untuk mengetahui apakah keberadaan hepatitis B dalam tubuh itu bersifat merusak, selanjutnya harus diadakan pemeriksaan DNA virus hepatitis B (HBV DNA) untuk mengetahui jumlah virus di dalam darah. Jika kita ingin mengetahui apakah infeksi masih bersifat infeksius atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan HBeAg dan Anti-HBe. Hasil positif dari pemeriksaan tersebut menunjukkan kondisi yang terjadi bersifat infeksius (menular) dan hasil negatif menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi bersifat tidak menular. Pemeriksaan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemeriksaan HBV DNA. Hasil pemeriksaan tersebut menentukan waktu dimulainya pengobatan dan durasi pengobatan. Pemeriksaan HBV DNA diikuti dengan pemeriksaan HBeAg untuk menentukan kapan pengobatan dengan antivirus dimulai. Pengobatan antivirus dimulai pada pasien dengan nilai HBV DNA >20,000 IU/ml dan hasil HBeAg positif. Sementara itu, apabila hasil HBeAg negatif, pengobatan dimulai pada nilai HBV DNA >2,000 IU/ml. Pembahasan ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian pengobatan. Saat ini, banyak sekali kekhawatiran yang timbul saat pasien pertama kali didiagnosis hepatitis B. Penelitian yang melibatkan 432 orang terkait perilaku dan kekhawatiran pada penderita hepatitis kronik (gambar1) menunjukkan bahwa hampir 70% penderita khawatir bahwa virus hepatitis B dapat menular ke keluarga dan kerabat di sekitarnya. Timbul rasa takut pada 50% responden saat pertama kali didiagnosis hepatitis B. Rasa khawatir merupakan suatu hal yang wajar asal tidak berkepanjangan dan membuat Anda mengisolasi diri sendiri dari lingkungan luar. Jika Anda terdiagnosis hepatitis B, bukan berarti kehidupan anda berakhir. Anda mash dapat hidup normal dan menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa adanya batasan tertentu. Lakukan kontrol secara berkala dan pengobatan secara rutin. Jangan stres ketika Anda di diagnosis hepatitis B Salah Kaprah Mengenai Hepatitis B Alangkah terkejutnya seorang ibu ketika diberitahu dokter bahwa ia menderita hepatitis B. la pernah mendengar beberapa cerita menakutkan mengenai Hepatitis B, seperti tidak ada obatnya, tidak bisa dihilangkan dari dalam tubuh, ataupun penyakit ini dapat berlangsung seumur hidup dan berujung pada kanker hati. Kasus ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dimana pemberitaan buruk mengenai hepatitis B menyebabkan penderita mengurungkan niatnya untuk berobat dan memilih untuk berserah diri. Di lain sisi, banyak dari penderita Hepatitis B tidak memiliki keluhan sama sekali sehingga merasa tidak perlu untuk mengkonsultasikan keadaannya ke dokter. Tidak jarang pula petugas kesehatan memberikan informasi yang kurang tepat terhadap penderita Hepatitis B seperti mengatakan bahwa virus dalam dirinya tidak berbahaya dan sedang dalam keadaan tidur dan akan membaik dengan sendirinya. Pendapat bahwa pasien Hepatitis B tidak perlu berobat adalah menyesatkan. Seseorang peng-idap Hepatitis B harus segera memeriksakan diri ke dokter dengan melakukan wawancara medis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium lebih laniut untuk mendapatkan penielasan terkait keadaan virus Hepatitis B dalam dirinya serta tanda bahaya yang menyertainya. Tidak mengherankan bahwa jumlah penderita yang datang dalam kondisi lebih lanjut seperti pengerasan hati, kanker hati bahkan gagal hati masih cukup banyak ditemui dalam praktek dokter sehari – hari dan seringkali penderita datang dalam keadaan yang terlambat. keadaan ini sering menyulitkan keluarga dan para dokter dalam penanggulangan penyakitnya. Terdapat berbagai informasi salah yang beredar di masyarakat yang cenderung merugikan, seperti seseorang dengan Hepatitis B yang tidak bergejala tidak perlu mengkonsultasikan keadaannya karena mendengar bahwa adanya infeksi Hepatitis B tanpa gejala dan keluhan umumnya terjadi karena virus Hepatitis B sedang tidur sehingga tidak berbahaya. Di sisi lain, terdapat informasi dan anggapan bahwa penyakit Hepatitis B tidak ada obatnya sehingga untuk apa berobat? Masih banyak alasan lainnya yang membuat penderita lupa dan enggan untuk konsultasi ke dokter. Perlu diingat bahwa seluruh pendapat dan anggapan di atas tidak benar. Berbagai informasi yang keliru ini terkadang menjadi faktor penyebab keterlambatan seseorang dalam mengenali dan mencari pertolongan terhadap penyakitnya. Kondisi Hepatitis B sejatinya dapat dicegah dengan pemberian vaksin hepatitis B pada mereka yang belum terpapar dan melakukan pengobatan segera pada kasus hepatitis B baik kasus baru maupun menahun untuk menghindari perburukan penyakit. Apabila Anda sudah terinfeksi hepatitis B menahun (kronis), Anda harus mengunjungi dokter sedikitnya sekali setahun karena kerusakan hati dapat terjadi kapan saja. Dokter Anda akan memberikan saran terbaik dalam menjaga kesehatan dan pemeliharaan hati. Dokter juga akan memberitahu Anda jika Anda  perlu untuk menjalani pengobatan tertentu dan akan mengarahkan anda ke dokter ahli/ spesialis hati apabila diperlukan. Kebanyakan orang yang terinfeksi Hepatitis B kronis hidup sehat seperti orang biasa dan baru mengetahuinya ketika melaksanakan general/ medical check-up. Akan tetapi, mereka tidak minum obat Hepatitis B yang sudah diresepkan dokter. Mayoritas orang baru merasa perlu berobat setelah terjadi gejala lanjutan seperti pengerasan hati (sirosis) atau bahkan kanker hati. Seringkali pendapat “Kalau sudah muntah darah karena sirosis, baru mau periksa ke dokter” ditemukan dalam kasus sehari-hari. Virus hepatitis B dikenal sebagai the silent killer (pembunuh diam-diam), yang kapan saja bisa merenggut nvawa seseorang. Hampir 70% penderita infeksi hepatitis B tidak bergejala atau anikterik (tidak kuning). Akibatnya penderita tidak menyadari telah terkena dan baru diketahui sesudah penyakit berjalan lanjut atau mengalami reaktivasi akut. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tenaga kesehatan, serta pengambil kebiiakan terhadap hepatitis menjadi persoalan mendasar bagi penanggulangan hepatitis di Indonesia. Beban penyakit Hepatitis yang besar seharusnya menjadikan penanggulangan Hepatitis sebagai prioritas bidang kesehatan. Kesadaran masyarakat dalam mendeteksi penyakit ini dinilai amat penting. Oleh sebab itu diperlukan adanya pemberian informasi yang tepat seputar hepatitis B, agar pihak awam maupun medis tidak mengalami salah kaprah terkait Hepatitis B.

Seminar Sehari Hepatitis

Seminar Sehari Hepatitis “KIAT TERHINDAR DARI HEPATITIS MENAHUN DAN KANKER HATI”   Pada: Hari : Rabu,7 Mei 2014Pukul:09:00 WIB – SelesaiTempat: Gedung Prof. Dr. A. Siwabessy, Kementerian Kesehatan R.I.Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan SUSUNAN ACARAWAKTUACARA08.00 – 09.00Pendaftaran & Coffee Morning Diselingi pemeriksaan GRATIS (screening) Hepatitis B. PEMBUKAAN DAN SAMBUTAN09.00 – 09.05Pembacaan Doa 09.05 – 09.15Sambutan Ketua IIDI Jakarta Pusat Moderator:   ……… PEMBICARA09.20 – 10.00Pembicara I : Prof. dr. H. Ali Sulaiman, PhD, SpPD, KGEH, FACG “Pencegahan dan pengobatan pada hepatitis menahun” 10.05 – 11.45Pembicara II : dr. Agus Sudiro Waspodo, Sp.PD-KGEH “Kanker hati ,apakah dapat dicegah? “  11.45 – 12.15 Tanya Jawab 12.15 – 12.30 Door Prize 12.30 – 13.30 Ramah Tamah, Ishoma/ makan siang diiringi organ 13.30 – Selesai Peragaan Busana Ikat Tenun  NTT

Simposium Hepatitis Virus dan Penyakit Hati Lainnya

Assalamualaikum Wr.Wb. Bapak, ibu, Saudara yang terhormat.     Klinik Hati ProfAli Sulaiman bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jakarta dan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jakarta, kembali akan menyelenggarakan simposium “Hepatitis Virus dan Penyakit Hati lainnya.” yang ke 2,  tetap dengan fokus pada “Pendekatan Klinik dalam Praktek Sehari-hari”..Tema simposium mengalami sedikit perubahan, dimana pada simposium  yang pertama tema simposium adalah Hepatitis Virus B dan C.sedangkan tema simposium yang sekarang dan mungkin selanjutnya adalah Hepatitis Virus dan Penyakit Hati lainnya, Dengan meluaskan tema dikandung maksud bahwa pembahasan tidak hanya pada hepatitis virus B dan hepatitis C saja, namun juga dapat menyinggung hepatitis virus, dan juga penyakit hati lainnya.. Walaupun demikian hepatitis B dan C akan tetap menjadi topik utama, karena hepatitis B dan C masih tetap menjadi problem kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia dan di Negara-negara yang berkembang.        Kelompok ini tetap dengan perjalanan penyakit yang sama dan dalam 40% kasus akan menjadi sirosis hati kompensata, dekompensata dan sebagian menjadi kanker hati yang akan berakhir dengan kematian . Dalam tahap ini hanya transplantasi hati yang merupakan pengobatan definitip dan akan menolong penderita tahap akhir dari hepatitis B dan C yang sangat tidak kebetulan teknik tersebut belum dapat dikerjakan utnuk menolong para penderita Gambaran penyakit hepatitis B dan hepatitis C di banyak negara berkembang merupakan  fenomena gambar sebuah gunung es diamana bagian yang muncul dipermukaan laut hanynyalah merupakan bagian yangkecil dari seluruh gunung es tersebut, yaitu 30% untuk hepatitis B dan 20 % untuk hepatitis C. Yang muncul kepermukaan laut adalah kelompok mereka yang mempunyai keluhan dan gejala, sedangkan bagian yang terbesar adalah kelompok penderita yang tidak mempunyai keluhan dan gejala sehingga mereka ini tidak pernah terdignosis oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya.     Dengan mengikuti simposium ini diharapkan bahwa para dokter PusKesMas dan para dokter yang bekerja dilini terdepan lainnya dapat mendiagnosis dan ikut berpartisipasi dalam menatalaksana selanjutnya bagian terbesar para penderita hepatitis B dan hepatitis C, sehingga para penderita tersebut dapat tertolong dari ancaman bahaya besar menjadi sirosis hati dan kanker hati dikemudian hari. Sampai bertemu di simposium. Wasalamualaikum Wr.Wb. Catatan: Simposium tentang “Hepatitis Virus dan Penyakit Hati Lainnya”, telah diselenggarakan pada tanggal 12 dan 13 January 2011 yang lalu, diselenggarakan di Hotel MEGA ANGGREK, Kemanggisan, Jakarta Barat. Simposium dihadiri oleh ± 600 peserta dari kalangan para Dokter Puskesmas di wilayah Jabodetabek, yang diselenggarakan oleh KLINIK HATI PROF. ALI SULAIMAN dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan di wilayah Jabodetabek dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dengan para pembicara antara lain: 1.  Prof .H. dr. Ali Sulaiman, Ph.D, Sp.PD,  KGEH 2.  Prof. H. dr. M. Sjaifoellah Noer, , Sp.PD, KGEH 3.  Prof. H. dr.Nurul Akbar, Sp.PD, KGEH. 4.  Prof. dr.L.A. Lesmana, Sp.PD, KGEH, Ph.D, FACP, FACG 5.  Dr.Dr. Djulitasari, M.Sc. 6.  Dr. Agus Sudiro Waspodo, Sp.PD, KGEH 7.  Dr. Irsan Husen, Sp.PD, KGEH 8.  Dr. dr. Hanifah Oswari, Sp. A (K) 9.  dr. C. Rinaldi Lesmana, Sp.PD. KGEH 10.  Dr. Andri Sanitiyoso Sulaiman, Ph.D Sp.PD, KGEH

17,500.000 Millions of Peoples in Indonesia Suffers from Chronic Hepatitis

Liver diseases is a huge public health problem in Indonesia. The prevalence of hepatitis B (HBsAg) is 5%-10% in many parts of Indonesia. In certain areas, in eastern part of Indonesia the prevalence of this diseases was reported higher. It is estimated about 17 and a half millions of peoples in Indonesia suffers from chronic hepatitis in which more than 20% of them will become liver cirrhosis and eventually liver cancer. Liver cirrhosis is a desease with many severe complications and one among the most frequents diseases that causes morbidities and mortalities in Indonesia. Hepatitis B has become a tremendous burden to the patients the family, and to the government. Ironically the disease can be prevented, because the hepatitis B vaccine is already available. Effort to vaccinate the babies has been started by the government since 1991; but lack of vaccines has become the biggest obstacles to make the mass vaccination successful. The key to win the fight again hepatitis B and liver cancer is prevention, and prevention begins with education. The key to winning the fight against hepatitis B and liver cancer is prevention, and prevention begins with education. There is a vaccine readily available that offers full protection from hepatitis B, but many API aren’t vaccinated simply because they don’t know about the problem or they don’t think that it affects them. The education includes detailed information about hepatitis B and liver cancer, including how to interpret blood tests and get vaccinations For those already affected by hepatitis B, patients can be visit the liver clinic for evaluation, treatment (if possible), and screening for liver cancer. How is hepatitis B transmitted among Asians and Pacific Islanders? Reusing needles for injection or tattoos, and unprotected sex, many APIs become infected when they are infants or young children. Frequently, transmission of the hepatitis B virus occurs during the birthing process when the virus is passed on from the mother (who is often unaware that she is a carrier and has chronic hepatitis B) to her child. It can also be transmitted during early childhood through direct contact with blood of infected individuals, occurring from contact between open wounds, sharing contaminated toothbrushes or razors, or through contaminated medical/dental tools. Why is hepatitis B often not diagnosed? The danger of hepatitis B lies in its silent transmission and progression. Many chronic hepatitis B carriers have no symptoms and feel healthy. Carriers may exhibit normal blood tests for liver function and be granted a clean bill of health. The diagnosis of cannot be made unless the doctor orders a specific blood test that tests for the presence of the hepatitis B surface antigen (HBsAg), a marker for chronic infection. Since the detection of hepatitis B is so easily missed, even by doctors, it is up to the patient to specifically request the HBsAg test. Early detection not only benefits the carrier, but will also prevent the infection from being passed silently from one child to another, and from one generation to another.   

Hepatitis B

Saat ini, diperkirakan 40% penduduk dunia pernah terpapar oleh virus hepatitis B (HBV) dan sejumlah 350 juta dari yang pernah terpapar tadi merupakan pengidap (karier) HBV.Sekitar satu juta orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan HBV. Prevalensi HBV didunia bervariasi dari 0,1% hingga 20%. Daerah dengan prevalensi HBV rendah (0,1-2%) adalah di Eropa Barat (dengan variasi yang luas di kawasan Eropa), Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru; prevalensi sedang (3-5%) di negara Mediterania, Jepang, Asia Tengah, Timur Tengah, Latin dan Amerika Selatan; serta prevalensi tinggi (10-20%) di Asia Tenggara, Cina, dan Afrika sub-Sahara. Di Indonesia prevalensinya berkisar dari 2.5% sampai 10% (di P Jawa), sedangkan diluar P Jawa dilaporkan lebih dari 10-15%. Misalnya laporan dari Papua (Irian) sekitar 17%. Dibeberap pulau di Nusa Tenggara Timur angka yang sangat tinggi lebih dari 25% telah dilaporkan.     Keanekaragaman ini mungkin berhubungan dengan perbedaan umur saat terkena infeksi, yang berkorelasi dengan risiko menjadi kronis. Laju progresi infeksi HBV dari akut menjadi kronik menurun seiring pertambahan usia, yaitu sekitar 90% untuk infeksi perinatal, dan sekitar 5% (atau bahkan lebih rendah) untuk orang dewasa. Insidens infeksi baru telah berkurang pada sebagian besar negara berkembang, terutama karena implementasi strategi vaksinasi. Akan tetapi, data yang tepat sulit dikemukakan, karena banyak kasus tidak dapat terdeteksi akibat gejala asimptomatik pada infeksi akut dan kronik.      Walaupun insidens infeksi hepatitis B akut telah menurun di sebagian besar negara akibat implementasi program vaksinasi, namun komplikasi yang berhubungan dengan HBV seperti kanker dan kematian masih dilaporkan terus meningkat. TRANSMISI •Seksual •Perkutaneus (penggunaan obat intravena) •Perinatal •Horisontal •Transfusi      Infeksi nosokomial (termasuk luka akibat jarum) Terdapat variasi dalam cara transmisi pada daerah geografis. Sebagai contoh, pada daerah dengan prevalensi rendah seperti Eropa Barat, rute transmisi biasanya melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan obat intravena. (Drug Abused). Sementara, pada daerah dengan prevalensi tinggi seperti Afrika sub-Sahara, Asia Tenggara termasuk Indonesia, infeksi perinatal (dari ibu kebayi) pada saat persalinan, merupakan rute transmisi yang dominan. Transmisi horizontal sering terjadi pada masa kanak-kanak dan merupakan  rute transmisi terbanyak pada daerah dengan prevalensi sedang. Transmisi Seksual      Pada daerah dengan prevalensi rendah, transmisi seksual adalah rute transmisi terbanyak. Sekitar 40% infeksi HBV baru di Amerika Serikat diperkirakan ditransmisikan melalui hubungan seksual secara heteroseksual, dan 25% terjadi karena hubungan homo seksual (sesama pria) Oleh karenanya, pencegahan transmisi HBV dilakukan dengan vaksinasi dan hubungan seks yang lebih aman, misalnya menggunakan kondom Inokulasi Perkutaneus    Transmisi perkutaneus (melalui suntik) kelihatannya merupakan rute transmisi HBV yang efektif, misalnya dengan saling berbagi jarum suntik pada penggunaan obat intravena. Pada daerah dengan prevalensi rendah seperti Eropa dan Amerika Serikat, sekitar 15% kasus infeksi HBV baru terdiagnosis pada pengguna obat intravena Risiko transmisi HBV meningkat seiring dengan jumlah pengguna obat per tahun, frekuensi injeksi, dan perilaku berbagi jarum suntik. Situasi lain yang memungkinkan inokulasi HBV perkutaneus adalah penggunaan bersama alat pencukur atau sikat gigi, Beberapa tindakan seperti akupuntur, tato, dan tindik tubuh dihubungkan dengan transmisi hepatitis B. Edukasi kesehatan publik dan penggunaan jarum suntik sekali pakai merupakan metode pencegahan transmisi yang penting. Transmisi Perinatal      Transmisi dari ibu dengan HBeAg positif (penanda bahwa pengidap HBV masih aktif dan menularkan) ke bayinya dapat terjadi dalam rahim, saat kelahiran, atau setelah kelahiran. Risiko kemungkinan infeksi bisa mencapai 90%. Vaksinasi neonatal memiliki efikasi yang tinggi dalam hal ini (95%). Dengan demikian, sebagian besar infeksi diperkirakan terjadi saat atau sesaat sebelum kelahiran. Operasi caesar tampaknya tidak menjamin bahwa bayi tidak terkena infeksi secara 100%. Risiko transmisi dari ibu ke bayi berhubungan dengan tingkat  replikasi HBV pada ibu. Terdapat kolerasi langsung antara kadar DNA-HBV maternal dengan kecenderungan transmisi. Pada ibu dengan HBV replikasi tinggi, risiko transmisi dapat mencapai 85-90%, yang menurun jika kadar DNA-HBV rendah.                 Pada beberapa penelitian, hampir tidak terdapat transmisi perinatal jika tingkat replikasi virus pada ibu tidak signifikan. Misalnya kadar VHB HBV yang rendah, serta HBeAg negatif Jadi mengurangi risiko transmisi perinatal adalah hal yang mungkin. Langkah pertama ialah identifikasi orang yang berisiko. Uji HBsAg seharusnya dilakukan pada semua wanita saat kunjungan prenatal pertama dan diulang kemudian saat kehamilan jika memungkinkan. Bayi yang baru lahir dari ibu dengan HBV positif dapat diproteksi secara efektif menggunakan imunisasi pasif aktif (proteksi > 90%) Pemeriksaan selanjutnya dengan memeriksa HBeAg sangat dianjurkan. Jika HBeAg + berarti status ibu sanagt infeksius dan kemungkinan penularan perinatal sanagt tinggi, lebih dari 95%. Sebaliknya jika HBeAg – kemungkinan penularan jauh lebih kecil.                             Pada ibu dengan HBeAg + maka bayi sangat dianjurkan selain vaksinasi hepatitis B, juga mendapat suntikan HBIG (hepatitis B immunoglobulin).2 kali berturut-turut dengan jarak antara suntikan kedua selang 1 bulan. Imunoglobulin hepatitis B untuk imunisasi pasif seharusnya diberikan sedini mungkin (dalam 12 jam), namun dapat diberikan hingga 7 hari setelah kelahiran jika seropositif ibu baru dideteksi kemudian. Imunisasi aktif sesuai standar diberikan sebanyak 3 kali (10 µg pada hari 0, bulan pertama, dan bulan keenam). Operasi caesar tidak dilakukan secara rutin, tetapi direkomendasikan karena adanya penyakit infeksi lain, seperti HIV (berdasarkan laju replikasi virus). Jika vaksinasi dilakukan pada anak, maka anak tetap dapat diberi air susu ibu.

Hepatitis A

PENDAHULUAN         Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global. Prevalensi infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibodi anti HAV telah diketahui secara universal dan erat hubungannya dengan standar sanitasi/kesehatan daerah yang bersangkutan. Meskipun hepatitis A ditularkan melalui air dan makanan yang tercemar, namun hampir sebagian besar infeksi VHA didapat melalui transmisi endemik atau sporadik yang sifatnya tidak begitu dramatis. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa infeksi VHA saat ini menjadi suatu masalah kesehatan masyarakat dibanyak negara justru karena telah berhasilnya hegara-negara tersebut memperbaiki keadaan perekonomian dan standar kesehatan lingkungannya, sehingga infeksi VHA yang seharusnya didapat masa anak-anak ternyata tertunda sampai dewasa Infeksi VHA tersebut telah menimbulkan suatu masalah disebagian besar negara-negara Eropa Selatan (Yunani, Portugal), Amerika Tengah & Selatan(Cuba, Chili), Asia ( termasuk (Indonesia), Cina, Korea & Singapura. SEJARAH Hepatitis A merupakan penyakit yang menyerang umat manusia, telah diketahui menyebabkan letupan penyakit kuning pada berbagai kelompok populasi yang berbeda. Telah dilaporkan terjadi pada saat kampanye militer sehingga disebut.  SEJARAH        Meskipun beberapa kejadian kuning yang terjadi zaman Hipokrates, yang dikenal dengan nama epidemic jaundice mungkin disebabkan oleh virus hepatitis A, namun baru antara tahun 1820-1879 lebih dari 50 epidemi hepatitis yang tercatat di Eropa,beberapa diantaranya mungkin disebabkan oleh virus hepatitis A yang terjadi pada saat peperangan.Tahun 1912 Cockayne memberikan nama “hepatitis infeksiosa” untuk bentuk penyakit kuning menular tersebut.Tahun 1923 Blummer telah berhasil membuat suatu ringkasan yang sempurna mengenai penyakit ini berdasarkan analisa 63 letupan epidemic jaundice yang terjadi di Amerika Serikat antara tahun 1812-1923. Observasi berikutnya menyatakan adanya 2 bentuk utama virus hepatitis yaitu hepatitis infectious dan hepatitis serum. Tahun 1947 Fred Mac Callum memperkuat istilah hepatitis A dan hepatitis B untuk membedakan kedua jenis penyakit ini, dan ternyata istilah ini telah dibakukan oleh WHO (1973, 1977). Tahun 1950-1970 pola seroepidemiologi terhadap penyakit ini lebih diteliti oleh Murray,Krugman yang secara kebetulan menuntun kita untuk lcemungkinan-kemungkinan baru berupa pencegahan penyakit tersebut. Tahun 1973 virus hepatitis A untuk pertama kali ditemukan secara jelas dengan pemeriksaan immune electron microscopic pada specimen tinja. Selanjutnya cara-cara pemeriksaan immuno assay yang sangat sensitif telah dikembangkan yang memungkinkan deteksi antigen hepatitis virus A dan antibodinya. Pengembangan tersebut ternyata membuahkan hasil ditemukannya tes diagnosis untuk ‘IgM’ yaitu spesifik antibodi yang dapat membedakan infeksi virus hepatitis A yang baru terjadi dibandingkan dengan infeksi yang sudah lama. Tahun 1979 Provost dan Hilleman berhasil membiakkan virus hepatitis A dalam kultur sel yang merupakan pembuka pintu terhadap proses perkembangan vaksin hepatitis A.  Kira-kira tahun 1980-an yang lalu suatu letupan ringan/kecil hepatitis A telah dilaporkan terjadi di suatu daerah pedesaan di pinggiran kota Melbourne yang dikenal sebagai Kangaroo Ground. Letupan hepatitis A tersebut diduga terpusat pada satu sekolah dasar lokal dan telah melibatkan beberapa orang anak serta keluarganya. EPIDEMIOLOGI        Epidemiologi dan transmisi VHA mencakup beberapa faktor sebagai berikut: Karakteristik Epidemiologi infecsi terbagi atas: Variasi musim dan Geografi.        Di daerah dengan 4 musim, infeksi VI-lA terjadi secara epidemi musiman yang puncaknya biasanya terjadi pada akhir musim semi dan awal musim dingin. Penurunan kejadian VHA akhir-akhir ini telah menunjukkan bahwa infeksi VHA terbatas pada kelompok sosial tertentu yaitu kelompok turis yang sering bepergian, sehingga variasi musiman sudah tidak begitu menonjol lagi. Di daerah tropis puncak insiden yang pernah dilaporkan cenderung untuk terjadi selama musim hujan dan pola epidemik siklik berulang setiap 5-10 tahun sekali, yang mirip dengan penyakit virus lain.  Faktor risiko spesifik yang diasosiasikan dengan hepatitis A di Amerika Serikat termasuk kontak erat dengan: orang yang terinfeksi VHA (26%), homoseksualitas (15%), penggunaan obat terlarang (10%), wisatawan mancanegara (foreign travel) 4% dan kontak dengan anak yang dititipkan ditempat penitipan bayi (daycare center). Usia Insidens.        Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap infeksi VI-lA. Insidens tertinggi pada populasi orang sipil, anak sekolah, tetapi dibanyak negara di Eropa Utara dan Amerika Utara ternyata sebagian kasus terjadi pada orang dewasa. Di negara berkembang dimana kondisi higiene dan sanitasi sangat rendah, paparan universal terhadap VHA teridentifikasi dengan adanya prevalensi anti-VHA yang sangat tinggi pada tahun pertama kehidupan dan tentu saja gambaran usia prevalensi anti-VHA benar-benar tergantung pada kondisi-kondisi sosio-ekonomi sebelumnya Peningkatan  prevalensi  anti-HAV  yang   berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan dibawah standar. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia, Afnika, India, beberapa negara mediterania dan Afrika Selatan menunjukkan sudah memiliki antibodi antiHAV pada usia 5 tahun (Fagan dan William, 1987). Sebagian besar infeksi VHA yang didapat pada usia awal dan kehidupan kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya Pernyataan ini sesuai dengan kenyataan yang terdapat di Indonesia seperti pada gambar 1. Di negara-negara yang maju secara kontras diketahui bahwa insidens infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini dan telah beralih keusia yang lebih tua, hal ini disebabkan kondisi secara social dan ekonomi lebih baik, begitu pula higiene dan sanitasi. Seperti dinegara-negara didunia, di Indonesia pun hepatitis A merupakan masalah kesehatan. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dan kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dan 39,8%-68,3°/o kemudian disusul oleh hepatitis non A-non B sekitar 15,5%– 46,4% dan hepatitis B 6,4%- 25,9%.° Pada RS. Angkatan Laut Mintohardjo dilaporkan bahwa dan 344 kasus hepatitis virus akut yang dirawat antara 1985-1988, hepatitis A, hepatitis B an non A non B masing-masing 51,2%, 16,6% dan 32,3%. Perbaikan keadaan sosio-ekonomi kesehatan lingkungan memberi dampak kepada  gambaran seroepidemiologi hepatitis A dibanyak negara. Gambaran seroepidemiologi hepatitis A dibeberapa tempat di Indonesia memperlihatkan variasi gambaran endemisitas yang tinggi sampai kepada  endemisitas menengah.  Yang dimaksud dengan endemisitas tinggi adalah gambaran dimana prevalensi anti-HAV pada populasi sampai umur 5 tahun ditemukan sangat tinggi hampir 100%. Laporan dari Irian Jaya memperlihatkan prevalensi anti HAV ditemukan 100% pada usia 4 tahun. Sedangkan prevalensi anti-HAV di Jakarta, Bandung dan Makassar  berkisar dari 35-45 % pada usia 5 tahun dan 30 tahun lebih dari 90% sudah teninfeksi.’(Gambar 1). Gambar 2. Prevalensi hepatitis A berdasarkan kelompok umur di Jakarta (1994)  Hasil penelitian yang berdasarkan kelompok umur dan beberapa rumah sakit tahun 1994 terlihat pada (Gambar 2).  Meski tingkat kejadian infeksi VI-lA menurun di banyak negara-negara industri, infeksi virus hepatitis A tetap menjadi persoalan kesehatan diantara risiko tinggi, seperti pekerja kesehatan, makanan, pekenja

Hepatitis C

PENDAHULUAN       Sejak berhasil ditemukannya hepatitis C dengan teknik kloning molekulerdi tahun 1989 sejumlah perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam pemahaman mengenai perjalanan alamiah, diagnosisdan terapi infeksi virus hepatitis C. Dahulu kita hanya dikenal infeksi ini sebagai infeksi virus hepatitis non-A, non-B, namun saat ini telah diketahui bahwa infeksi yang hanya memiliki tandaptanda subklinis ringan itu ternyata memiliki tingkat kronisitas dan progresifitas kearah sirosis yang tinggi. EPIDEMIOLOGI      Prevalensi infeksi virus hepatitis C di dunia Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah 2,9%. Menurut data WHO angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di Afrika (gambar 1). Angka seroprevalensi di Asia Tenggara sekitar 2,2% dengan jumlah penderita sekitar 32,3 juta orang (tabel 1) DIAGNOSIS Tidak seperti pada hepatitis B pemeriksaan konvesional untuk mendeteksi keberadaan antigen-antigen HCV tidak lah tersedia, sehingga pemeriksaan untuk mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa antibodi dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus. Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi risiko infeksi terkaitv transfusi. Sekali seseorang pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif. Namun demikian, kadar antibodi anti-HCV nya akan menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi spontan. Pemeriksaan anti-HCV Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi ke-3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein-protein struktural yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi dakam waktu 4 – 10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya. Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting populasi low-risk seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan. 

Hepatitis Virus A dan B Selayang Pandang

Pendahuluan.       Jika kita berbicara hepatitis Virus dalam arti sempit maka yang dimaksud adalah penyakit hepatitis (peradangan hati) yang disebabkan oleh 7 virus hepatitis yaitu virus hepatitis (A,B,C,D,E,GB, dan TT). Virus yang 7 ini jika masuk kedalam tubuh akan langsung mencari organ hati yang akan menjadi tempat tinggalnya dan berkembang biak. Setelah cukup banyak jumlahnya (masa inkubasi), baru akan terjadi keluhan dan gejala. Masa inkubasi ini berbeda-beda lamanya. Contoh untuk hepatitis A masa inkubasi memakan waktu 2 minggu sampai 6 minggu, sedangkan untuk hepatitis B dari 6 minggu sampai 6 bulan.       Bagaimana caranya virus tersebut masuk kedalam tubuh juga berbeda-beda. Dalam arti yang luas hepatitis bisa disebabkan oleh banyak faktor penyebab, misalnya karena  toksin, obat-obatan, virus lain selain virus hepatitis diatas, bakteri, berbagai penyakit dan banyak lainnya. Penyebab yang disebut belakangan, mereka mengganggu hati, namun tujuan utamanya bukan hati. Sebagai contoh penyakit demam tifoid selain menyerang usus kecil dapat juga menyebabkan hepatitis tifosa, hepatitis tuberkulosa, hepatitis amubika, dll. Dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan hanya mengenai hepatitis virus A dan B. Hepatitis Virus Akut       Caranya virus hepatitis A masuk kedalam tubuh adalah melalui mulut (makanan yang tercemar oleh VHA) Jangan dikira bahwa jika kita makan direstoran berbintang 5 tidak mungkin kita tidak terkena infeksi VHA. Coba kita bayangkan dari mana datangnya sayuran sampai ke dapur hotel, dan kita memakannya dalam bentuk yang segar, artinya sayuran itu kita makan tanpa dimasak dahulu dan kebetulan sayuran tadi tercemar oleh VHA, tentu virusnya masih ada dalam sayuran tersebut. Virus hepatitis A hanya mati kalau direbus sampai temperatur 100 Celcius  dan pastinya sayuran tersebut tidak segar lagi. Kebetulann kita yang memakan sayuran segar tadi, baca salad atau karedok, tidak mempunyai daya tahan tubuh berupa antibodi  terhadap VHA,  maka kemungkinan besar bahwa kita akan terkena hepatitis A akut (HAA) besar sekali       Tentu saja kita tidak akan sakit karena terkena HAA besoknya atau bahkan seminggu kemudian, karena masa inkubasi HAA paling cepat 2 minggu. Bahwasanya HAA karena makan salad itu sudah pernah dilaporkan dalam literatur dan bukan sekedar suatu lelucon dan dikenal sebagai hepatitis salada.  Ada lagi satu kebiasaan yang bisa memungkinkan bahwa seseorang tertular oleh VHA, ketika sewaktu ybs kehausan dan ingin minum. Sebenarnya orang tersebut sudah benar ia memilih air aqua yang pasti sudah bersih dan bebas dari kuman atau virus hepatitis A. Namun kebetulan caranya meminum keliru.       Seyogyanya  setelah botol  dibuka seharusnya airnya langsung diminum dari botolnya atau dengan memakai sedotan  yang bersih (tertutup kertas). Alih-alih diminum langsung, air aqua yang bersih dan bebas kuman atau VHA tadi dituang dulu kedalam gelas, yang kebersihannya disangsikan dan karena ingin dingin maka ia minta es agar dimasukkan kedalam gelasnya. Kita tidak yakin juga akan kebersihan es batu tersebut, karena air yang dibuat untuk menjadi es batu di pabrik es tersebut, apakah direbus dahulu atau tidak?  Kalau kita membuat es dirumah pasti tentunya memakai air yang sudah dimasak.  Secara kebetulan orang yang kita sebutkan diatas tidak mempunyai kekebalan terhadap VHA. Sebetulnya sederhana sekali untuk kita agar bisa terhindar dari infeksi HAA, yaitu dengan meminum air dan memakan makanan yang telah dimasak, Insya Allah kita terhindar dari infeksi hepatitis. Anda ingin terbebas dari tertular HAA?       Selain membiasakan makan makanan yang dimasak dengan baik, tentunya harus mengetahui apakah kita sudah mempunyai antibodi terhadap virus hepatitis A. Caranya mudah yaitu dengan cara memeriksakan  darah. Kita minta diperiksa terhadap anti VHA dan melihat,  apakah kita sudah mempunyai anti-VHA (antibodi) terhadap VHA atau tidak. Jika anda sudah mempunyai anti-HAV maka Insya Allah anda akan terbebas dari kemungkinan infeksi HAA, walauun anda makan sayuran segar alias tidak dimasak. Anda tidak perlu kuatir makan direstoran tingkat apapun. Kekerapan kejadian seseorang  terkena Infeksi hepatitis A mencerminkan tingkat higienis dan kebersihan lingkungan dimana kita tinggal. Jika disatu negara  atau tempat prevalensi anti HAA-nya tinggi, maka berarti kesehatan lingkungan atau kebersihan lingkungannya  kurang baik.  Jika diperiksa seluruh lapisan atau sebagian lapisan penduduknya diperiksa terhadap anti HAA, maka akan terlihat bahwa prevalensi anti HAA keseluruan penduduk yang diperiksa akan tinggi. Kebersihan keadaan higienis diberbagai tempat di Indonesia saja belum tentu sama.  Disuatu daerah bisa saja lebih tinggi dibandingkan daerah yang lainnya. Misalnya laporan dari Jayapura  angka yang sangt tinggi ditemukan. Anak-anak balita ternyata hampir seluruhnya sudah pernah terekspos, berarti anak-anak dibawah umur 5 tahun hampir seluruhnya sudah pernah mengalami infeksi HAA.  Pada satu penelitian di Jakarta, Bandung dan Makasar prevalensi anak balita yang terkena hepatitis A sekitar 30-40%, dan pada usia 30-40 tahun hamper 70-90% sudah pernah terkena infeksi hepatitis A.      Bagi para dokter yang merawat penderita sakit kuning, data epidemiologik ini dapat dipergunakan untuk membantu menegakkan diagnosis secara cepat. Jika seorang menderita sakit kuning dengan usia diatas 50 tahun jangan didiagnosa sebagai hepatitis A, karena kemungkinan bahwa penderita  tersebut menderita sakit kuning (HAA) kecil sekali.  Mungkin saja terjadi beberapa orang yang belum pernah kontak dengan VHA karena saking bersihnya dan tidak pernah jajan diluar atau memakan makanan yang tidak dimasak. Bagi penderita yang sudah tua dan terkena penyakit kuning, dan kebetulan datang  kepada anda, seyogyanya kita sebagai klinisi lebih dahulu menduga kuningnya disebabkan oleh penyebab lainnya dan bukan hepatitis A, misalnya kemungkinan hepatitis yang lain (B atau C), penyakit batu empedu atau bahkan kemungkinan suatu tumor. Keluhan dan Gejala Hepatitis Virus A  Akut         Bagaimana keluhan dan gejala hepatitis A akut (HAA)?Hepatitis A selalu akut dan tidak menjadi konik. Umumnya HAA akan menyembuh sendirinya, kecuali jika sedang naas kita terinfeksi oleh  penyakit hepatitis A fulminan atau sering disebut sebagai hepatitis A tipe yang ganas. Hepatitis A fulminan kejadiannya jarang, sekitar 0.05% saja. Kalau terkena keadaan ini prognosisnya buruk dan kebanyakan kasus berakhir dengan kematian. Pada umumnya para penderita terkena hepatitis A akut jenis yang klasik. Gejala hepatitis akut jenis yang klasik akan dimulai dengan  gejala prodromal, (preikterik), kemudian fase kterik (gejala kuning dimata dan kulit, dan akhirnya pasca iktetrik (rekonvalesensi). Umumnya penderita HAA akan mencari pertolongan dokter, karena baik penderitanya sendiri atau keluarga (orang tua) sangat takut dengan keluhan dan gejalanya yang pada awal sangat mengganggu, seperti  lemas, sakit perut, mual dan muntah serta tidak mau makan dan terlebih jika

Dokter Bintang Toejoeh, Dokter Masa Depan

  Dokter Bintang Toejoeh, Dokter Masa Depan    Oleh: Prof. Dr. H. Ali Sulaiman,  Ph.D SpPD KGEH DIVISI Hepatologi, Dept. I Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran   UNIVERSITAS INDONESIAPendahuluan.      Pendidikan dokter di Indonesia adalah warisan pendidikan dokter Belanda dan Amerika yang ditiru begitu saja. Kondisi dan kultur di Belanda dan Amerika tentunya mempunyai situasi serta kultur yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Pendidikan dokter diseluruh dunia secara serius dan konsisten berupaya untuk menjembatani jurang (gap) yang ada antara kebutuhan menghasilkan dokter yang profesional dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik yang terus meningkat.      Para guru kedokteran dan masyarakat awam selalu berharap bahwa dokter yang dihasilkan melalui pendidikan kedokterannya dapat menjadi seorang ilmuwan, humanis, sarjana (scholar), dan seorang warganegara yang baik yang dengan penuh rasa tanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama dalam komunitas yang kecil. Agaknya harapan tersebut masih merupakan impian saja dan masih sangat sedikit para lulusan dokter yang menyandang predikat tersebut diatas.        Pendidikan dokter di negara berkembang.Kurikulum pendidikan dokter di negara berkembang umumnya hanya mengikuti kurikulum pendidikan di negara maju, sehingga banyak hal dalam kurikulumnya yang dikenal sebagai kurikulum tradisional, kurang memiliki aplikasi klinis di lapangan. Kurikulum pendidikan dokter di negara maju tidak dipersiapkan untuk menghadapi persoalan masyarakat yang majemuk yang banyak terjadi dinegara-negara berkembang. Kebijakan lokal kurang mempersiapkan sistem pendidikan dokternya yang sesuai untuk kebutuhan masyarakat di negara sedang berkembang. Salah satu contoh misalnya seorang dokter baru diharapkan dapat melaksanakan tugasnya di Puskesmas atau ditempat-tempat layanan kesehatan primer, tetapi pendidikan kedokterannya umumnya dilakukan di rumah sakit pelayanan sekunder atau bahkan tersier, sehingga profil pasien yang ditangani tidak sesuai dengan pasien yang akan dilayani dalam prakteknya nanti. Perlu perubahan pola pendidikan dokter kita agar sesuai dengan aktualisasi di lapangan. Sejarah Pendidikan dokter di Indonesia.     Sejarah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tidak terlepas dari sejarah pendidikan dokter di Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pendidikan dokter di Indonesia lahir pada tanggal 2 Januari 1849 lewat Keputusan Gubernemen No. 22. Perjalanan yang panjang riwayat pendidikan dokter di Indonesia dimulai dengan pendidikan dokter 2 tahun yang setelah selesai dinamakan Dokter Jawa dan tugas utamanya sebagai Mantri Cacar. Selanjutnya pendidikan dokter mengalami berbagai perubahan lama masa pendidikan, menjadi 3 tahun (1864) dan kemudian 7 tahun (1875), Dokter yang dihasilkan boleh kerja mandiri, namun masih dibawah pengawasan dokter Belanda. STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen didirikan setelah menuggu 20 tahun (1898). Para alumninya disebut Inlandse Arts. Tanggal 1 Maret 1902, gedung baru untuk sekolah kedokteran didirikan di Hospitaalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh 26), dengan masa pendidikan 9 tahun yang yang dibagi menjadi 2 tahun masa perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokterannya. Bersamaan dengan disempurnakannya organisasi STOVIA pada tahun 1913, waktu studi dokter ditambah menjadi 10 tahun. Adapun 10 tahun masa studi ini terdiri dari 3 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran. Para lulusannya disebut sebagai Indische Arts. Masih pada tahun yang sama, kemudian dibuka sekolah kedokteran dengan nama NIAS (Nederlands Indische Artsenschool) di Surabaya.      Pada akhir tahun 1919, didirikan Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis, sekarang disebut RSCM) yang dipakai sebagai rumah sakit pendidikan oleh siswa STOVIA. Gedung baru dibangun pada tanggal 5 Juli 1920 dan seluruh fasilitas pendidikan dipindahkan ke gedung pendidikan yang baru tersebut yang sekarang berlokasi di Jalan Salemba 6. Pendidikan dokter diresmikan menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneeskundige Hooge School (GHS) pada tanggal 9 Agustus 1927 dan lama pendidikan menjadi 7 tahun.. Pada tanggal 8 Maret 1942 era kolonialisme Belanda berahir, dan dimulainya kekaisaran Jepang. Menindaklanjuti hal tersebut diatas, sebuah komite pendidikan segera dibentuk, untuk mengembangkan kurikulum pendidikan dokter, dan sekaligus juga untuk mempromosikan staf pengajar untuk menjadi dosen, asisten dosen, dan guru besar.        Bersamaan dengan itu, dibentuk pula komite yang terdiri dari mahasiswa di Jakarta. Komite ini mengembangkan rencana untuk menggabungkan eks-GHS dan eks-NIAS menjadi sekolah kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun. Penyesuaian penerimaan siswa pun dilakukan untuk menunjang sistem pendidikan tersebut. Tanggal 29 April 1943 Pendidikan dokter, berubah nama menjadi Ika Daigaku. Pada bulan Februari 1946 setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, mulailah pendidikan dokter era pasca kemerdekaan. Pada Februari 1947 nama sekolah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Belanda kembali ke Indonesia dan kegiatan pendidikan dokter dilangsungkan kembali dengan nama Genesskundige Faculteit, Nood-Universiteit van Indonesie. Namun, pendidikan kedokteran pada Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia tetap dilaksanakan.      Pada tanggal 2 Februari 1950, kedua institusi itu melebur menjadi satu. Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Karena kekurangan tenaga pengajar medis diadakan pendekatan dengan University of Carolina San Fransisco (UCSF.) Mulailah pendidikan dokter terpimpin (guided study). Pada tahun 1982, Consortium of Health Sciences (CHS) menerbitkan Kurikulum Inti Pendidikan Kedokteran (KIPDI 1) yang kemudian disusul oleh KIPDI II pada tahun 1994. Intinya adanya perubahan kurikulum pendidikan yang berdasarkan disiplin menjadi kurikulum terintegrasi. Menjelang tahun 2000 dimulai perubahan ke kurikulum berbasis kompetensi. Sejarah panjang pendidikan dokter Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pendidikan dokter Belanda dan terakhir Amerika. Pada tahun 1982, Consortium of Health Sciences (CHS) menerbitkan Kurikulum Inti Pendidikan Kedokteran (KIPDI 1) yang kemudian disusul oleh KIPDI II pada tahun 1994. Intinya adanya perubahan kurikulum pendidikan yang berdasarkan disiplin menjadi kurikulum terintegrasi. Menjelang tahun 2000 dimulai perubahan ke kurikulum berbasis kompetensi. Sejarah panjang pendidikan dokter Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pendidikan dokter Belanda dan terakhir Amerika.

Scroll to Top