Oleh: Prof. Dr. H. Ali Sulaiman, Ph.D SpPD KGEH
DIVISI Hepatologi, Dept. I Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UNIVERSITAS INDONESIA
Pendahuluan. Pendidikan dokter di Indonesia adalah warisan pendidikan dokter Belanda dan Amerika yang ditiru begitu saja. Kondisi dan kultur di Belanda dan Amerika tentunya mempunyai situasi serta kultur yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Pendidikan dokter diseluruh dunia secara serius dan konsisten berupaya untuk menjembatani jurang (gap) yang ada antara kebutuhan menghasilkan dokter yang profesional dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik yang terus meningkat.
Para guru kedokteran dan masyarakat awam selalu berharap bahwa dokter yang dihasilkan melalui pendidikan kedokterannya dapat menjadi seorang ilmuwan, humanis, sarjana (scholar), dan seorang warganegara yang baik yang dengan penuh rasa tanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama dalam komunitas yang kecil. Agaknya harapan tersebut masih merupakan impian saja dan masih sangat sedikit para lulusan dokter yang menyandang predikat tersebut diatas.
Pendidikan dokter di negara berkembang.Kurikulum pendidikan dokter di negara berkembang umumnya hanya mengikuti kurikulum pendidikan di negara maju, sehingga banyak hal dalam kurikulumnya yang dikenal sebagai kurikulum tradisional, kurang memiliki aplikasi klinis di lapangan. Kurikulum pendidikan dokter di negara maju tidak dipersiapkan untuk menghadapi persoalan masyarakat yang majemuk yang banyak terjadi dinegara-negara berkembang. Kebijakan lokal kurang mempersiapkan sistem pendidikan dokternya yang sesuai untuk kebutuhan masyarakat di negara sedang berkembang. Salah satu contoh misalnya seorang dokter baru diharapkan dapat melaksanakan tugasnya di Puskesmas atau ditempat-tempat layanan kesehatan primer, tetapi pendidikan kedokterannya umumnya dilakukan di rumah sakit pelayanan sekunder atau bahkan tersier, sehingga profil pasien yang ditangani tidak sesuai dengan pasien yang akan dilayani dalam prakteknya nanti. Perlu perubahan pola pendidikan dokter kita agar sesuai dengan aktualisasi di lapangan. Sejarah Pendidikan dokter di Indonesia.
Sejarah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tidak terlepas dari sejarah pendidikan dokter di Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pendidikan dokter di Indonesia lahir pada tanggal 2 Januari 1849 lewat Keputusan Gubernemen No. 22. Perjalanan yang panjang riwayat pendidikan dokter di Indonesia dimulai dengan pendidikan dokter 2 tahun yang setelah selesai dinamakan Dokter Jawa dan tugas utamanya sebagai Mantri Cacar. Selanjutnya pendidikan dokter mengalami berbagai perubahan lama masa pendidikan, menjadi 3 tahun (1864) dan kemudian 7 tahun (1875), Dokter yang dihasilkan boleh kerja mandiri, namun masih dibawah pengawasan dokter Belanda. STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen didirikan setelah menuggu 20 tahun (1898). Para alumninya disebut Inlandse Arts. Tanggal 1 Maret 1902, gedung baru untuk sekolah kedokteran didirikan di Hospitaalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh 26), dengan masa pendidikan 9 tahun yang yang dibagi menjadi 2 tahun masa perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokterannya.
Bersamaan dengan disempurnakannya organisasi STOVIA pada tahun 1913, waktu studi dokter ditambah menjadi 10 tahun. Adapun 10 tahun masa studi ini terdiri dari 3 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran. Para lulusannya disebut sebagai Indische Arts. Masih pada tahun yang sama, kemudian dibuka sekolah kedokteran dengan nama NIAS (Nederlands Indische Artsenschool) di Surabaya.
Pada akhir tahun 1919, didirikan Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis, sekarang disebut RSCM) yang dipakai sebagai rumah sakit pendidikan oleh siswa STOVIA. Gedung baru dibangun pada tanggal 5 Juli 1920 dan seluruh fasilitas pendidikan dipindahkan ke gedung pendidikan yang baru tersebut yang sekarang berlokasi di Jalan Salemba 6. Pendidikan dokter diresmikan menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneeskundige Hooge School (GHS) pada tanggal 9 Agustus 1927 dan lama pendidikan menjadi 7 tahun.. Pada tanggal 8 Maret 1942 era kolonialisme Belanda berahir, dan dimulainya kekaisaran Jepang. Menindaklanjuti hal tersebut diatas, sebuah komite pendidikan segera dibentuk, untuk mengembangkan kurikulum pendidikan dokter, dan sekaligus juga untuk mempromosikan staf pengajar untuk menjadi dosen, asisten dosen, dan guru besar.
Bersamaan dengan itu, dibentuk pula komite yang terdiri dari mahasiswa di Jakarta. Komite ini mengembangkan rencana untuk menggabungkan eks-GHS dan eks-NIAS menjadi sekolah kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun. Penyesuaian penerimaan siswa pun dilakukan untuk menunjang sistem pendidikan tersebut. Tanggal 29 April 1943 Pendidikan dokter, berubah nama menjadi Ika Daigaku. Pada bulan Februari 1946 setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, mulailah pendidikan dokter era pasca kemerdekaan. Pada Februari 1947 nama sekolah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Belanda kembali ke Indonesia dan kegiatan pendidikan dokter dilangsungkan kembali dengan nama Genesskundige Faculteit, Nood-Universiteit van Indonesie. Namun, pendidikan kedokteran pada Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia tetap dilaksanakan.
Pada tanggal 2 Februari 1950, kedua institusi itu melebur menjadi satu. Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Karena kekurangan tenaga pengajar medis diadakan pendekatan dengan University of Carolina San Fransisco (UCSF.) Mulailah pendidikan dokter terpimpin (guided study). Pada tahun 1982, Consortium of Health Sciences (CHS) menerbitkan Kurikulum Inti Pendidikan Kedokteran (KIPDI 1) yang kemudian disusul oleh KIPDI II pada tahun 1994. Intinya adanya perubahan kurikulum pendidikan yang berdasarkan disiplin menjadi kurikulum terintegrasi. Menjelang tahun 2000 dimulai perubahan ke kurikulum berbasis kompetensi. Sejarah panjang pendidikan dokter Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pendidikan dokter Belanda dan terakhir Amerika. Pada tahun 1982, Consortium of Health Sciences (CHS) menerbitkan Kurikulum Inti Pendidikan Kedokteran (KIPDI 1) yang kemudian disusul oleh KIPDI II pada tahun 1994. Intinya adanya perubahan kurikulum pendidikan yang berdasarkan disiplin menjadi kurikulum terintegrasi. Menjelang tahun 2000 dimulai perubahan ke kurikulum berbasis kompetensi. Sejarah panjang pendidikan dokter Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pendidikan dokter Belanda dan terakhir Amerika.